08 Agustus 2025

BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN

SYAIKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN

Syekh Abdul Muhyi Pamijahan diyakini sebagai waliyullah dan dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengan nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu.

Syekh Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam.

Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa.

lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Kefika masih anak-anak, Syekh Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekah, tetapi singgah di Aceh.

Di Aceh Abdul Muhyi ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh Abdur Ra’uf as-Singkili. Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur Ra’uf.

Sebagai guru besar Syathariyah, Syaikh Abdur Ra'uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.

Setelah beberapa tahun di Aceh, Syekh Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, (Syaikh Abdul Qadir Jilani di lrak). Perjalanan diteruskan ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji.

Syekh Abdul Muhyi kemudian belajar di Makkah, tidak langsung pulang. Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan al-Ajami,yaitu guru-guru dari Abdur Ra'uf as-Singkili sendiri.

Syekh Abdul Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun 1678 setelah mendapatkan ijazah untuk men jadi mursyid tarekat Syathariyah dari gurunya. Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi pindah ke Jawa barat untuk menyebarkan Islam, dan berusaha mencari sebuah gua yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra'uf as-Singkili.

Awalnya Syekh Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun (1678-1685) atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut. Perjalanan diteruskan ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi.

Di Lebaksiuh inilah Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit. Gua ini dinamakan Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan. Gua Pamijahan ini berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di Lebaksiuh, Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang.

Gua ini menjadi tempat ’uzlah dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, ia membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi.

Di tempat ini dia membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat Syathariyah. Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram. Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para bangsawan dari Cirebon. Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten, termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaitu Syaikh Yusuf Tajul khalwaiti al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekah. Ketika Syaikh Yusuf bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah Keraton Banten, Syaikh Yusuf bersembunyi di tempat Syaikh Abdul Muhyi. Di samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah.  Tokoh ini meninggal pada 1730 M atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya.



Sumber: NU JABAR ONLINE



BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH JAFAR SHODIQ (HARUMAN)

 SYAIKH JAFAR SHODIQ (HARUMAN)

Cukup banyak tokoh yang terkenal jasanya dalam menyebarkan Islam di Kab. Garut yang gaungnya meluas hingga luar daerah. Salah satunya adalah Syekh Ja’far Shidiq asal Kec. Cibiuk yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Wali Cibiuk. Ia hidup sezaman, bahkan dikenal bersahabat baik dengan penyebar Islam lainnya di daerah Tasikmalaya, Syekh Abdul Muhyi.

Karena jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam serta perkembangan kehidupan masyarakat Garut, khususnya di Garut Utara, makamnya yang terletak di kaki Gunung Haruman Desa Cipareuan, Kec. Cibiuk tak pernah sepi dari para peziarah. Belakangan, makam Syekh Ja’far Shidiq ini dijadikan Pemkab Garut sebagai salah satu objek wisata ziarah, tergolong ke dalam atraksi budaya peninggalan sejarah dengan bentukan fisik (relik/artefak) berupa makam. Selain berdoa dan menafakuri kiprah perjuangan Syekh Ja’far Shidiq dalam menyebarkan Islam, para peziarah juga dapat mempelajari kebudayaan, khususnya sejarah dan kebudayaan Islam.

Syekh Ja’far Shidiq tidak henti-hentinya mendorong umat untuk terus menggali serta mengembangkan ilmu dan kemajuan ekonomi, termasuk keahlian membuat makanan. Salah satu warisan dari Syekh Ja’far Shidiq yang hingga saat ini terus dikenal, yaitu “sambal cibiuk” yang dikembangkan putrinya, Nyimas Ayu Fatimah. Sambal cibiuk bahkan sudah menjadi trade mark di sejumlah restoran di beberapa kota besar seperti Bandung dan Jakarta.

Syekh Ja’far Shidiq juga meninggalkan warisan lain yang tak kalah pentingnya bagi pengembangan Islam, yaitu sebuah bangunan masjid yang hingga kini masih bisa dimanfaatkan umat Islam untuk berbagai kegiatan keagamaan. Masjid yang dibangunnya memiliki ciri dan corak khas bangunan masjid buatan para wali di Pulau Jawa, yaitu beratap kerucut dengan disangga oleh tiang-tiang kayu kokoh yang sambungannya tidak menggunakan paku.

Diperkirakan bangunan masjid tersebut sudah berusia lebih dari 460 tahun.

Masjid yang dikenal dengan sebutan masjid Mbah Wali tersebut terletak di Kp. Pasantren Tengah, Desa Cibiuk Kidul, Kec. Cibiuk.

Menurut pengurus masjid, masjid peninggalan Syekh Ja’far Shidiq tersebut aslinya berupa bangunan panggung berukuran 6 meter kali 6 meter terbuat dari bahan kayu dan bambu, dengan lantai dari palupuh (papan terbuat dari bambu, red).

SEBELUM memulai ziarahnya ke makam Syekh Ja’far Shidiq di kaki Gunung Haruman, biasanya para peziarah terlebih dahulu datang ke Masjid Mbah Ali. Mereka yang datang ke Cibiuk selain dapat berziarah ke kompleks makam Syekh Ja’far Shidiq dan Masjid Mbah Wali Cibiuk, juga bisa menikmati wisata kuliner sambal cibiuk yang tersedia di sejumlah warung dan restoran sepanjang jalur Jalan Raya Cibiuk. Dalam beberapa waktu terakhir, kawasan Gunung Haruman juga sering dijadikan arena olahraga paragliding yang mengundang banyak peserta dan penonton.

Makam Syekh Ja’far Shidiq berada di tengah kompleks makam seluas 5 hektare. Lokasi makam berjarak sekitar 300 meter dari ibu kota Kecamatan Cibiuk atau 21 km dari arah kota Garut. Dari arah Bandung maupun Tasikmalaya dapat dijangkau melalui jalur Nagreg-Balubur Limbangan. Dari Terminal Balubur Limbangan, makam tersebut hanya berjarak sekitar 10 kilometer.

Makam Syekh Ja’far Shidiq terdiri atas empat kompleks makam utama yang semuanya merupakan kerabat dekatnya yang juga terbilang penyebar Islam di daerah Garut. Keempat kompleks adalah Makam Eyang Abdul Jabar yang berada di sebelah Timur, dan agak ke tengah adalah makam Syekh Ja’far Shidiq sendiri. Ke arah barat terletak makam Nyimas Ayu Siti Fatimah, dan paling ujung makam Mbah Muhammad Asyim.

Keempat kompleks makam utama tersebut dibatasi masing-masing oleh pagar bambu.

Pada kompleks makam Syekh Abdul Jabar terdapat juga makam Mbah Mas’ud atau Rd. Dipakusumah (cucu mantu dari Sykeh Abdul Jabar), dan Nyimas Syu’batul Alam (istri Mbah Mas’ud). Pada kompleks makam Syekh Ja’far Shidiq terdapat juga makam Nyimas Ajeng Kalibah (istri Syekh Ja’far Shidiq), Nyimas Ajeng Sawiyah (juga istri Syekh Ja’far Shidiq), Nyimas Ajeng Arjawulan (masih istri Syekh Ja’far Syidiq), Eyang Badruddin (putra Syekh Ja’far Shidiq dari Nyimas Arjawulan), Eyang Mubarok, dan Eyang Zakaria.

 




SEJARAH SINGKAT SITU LENGKONG PANJALU

 SITU LENGKONG PANJALU

Menurut legenda setempat, pada awal abad ke-7, Raja Panjalu menginginkan putra mahkotanya untuk memperoleh ilmu yang paling sempurna. Putra mahkota yang bernama Sanghyang Borosngora itu kemudian melakukan perjalanan ke Tanah Suci.

Ia memutuskan pergi ke Mekah untuk mempelajari dan memperdalam ajaran Islam. Sekembalinya ke Panjalu, ia membawa air Zam-zam yang kemudian ditumpahkan ke sebuah lembah bernama Lembah Pasir Jambu.

Air tersebut meluap dan membentuk danau. Danau itu kini dikenal sebagai Situ Lengkong Panjalu.

Situ Panjalu dikenal juga sebagai Situ Lengkong Panjalu. Danau alami ini memiliki luas 57,95 hektar.

Situ Lengkong Panjalu terletak di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau seluas 9,25 hektar bernama Nusa Gede, yang menjadi pusat berbagai peninggalan sejarah dan budaya.

 

Terdapat berbagai hal unik yang ada dalam Situ Panjalu.

Berikut adalah daftar hal unik yang bisa dirasakan oleh pengunjung.

  1. Pulau Nusa Gede: Pulau ini berada di tengah danau dan menjadi hutan lindung yang menyimpan sekitar 307 pohon dari 30 jenis berbeda.
  2. Makam Prabu Hariang Kancana: Makam ini berada di pulau Nusa Gede. Makam raja Panjalu yang ada di tengah danau ini menjadi destinasi wisata religi bagi para peziarah.
  3. Tradisi Nyangku: Setiap bulan Maulid, masyarakat Panjalu mengadakan upacara adat bernama Nyangku untuk menghormati para leluhur. Tradisi ini menambah daya tarik budaya bagi wisatawan yang ingin menyaksikan ritual khas daerah tersebut.
  4. Wisata Air: Pengunjung dapat menikmati keindahan danau dengan menaiki perahu yang disediakan untuk mengelilingi Situ Lengkong. Aktivitas seperti kayaking juga menjadi alternatif bagi wisatawan yang mencari pengalaman berbeda.
  5. Fasilitas Penunjang: Area wisata ini dilengkapi dengan fasilitas seperti tempat parkir, sarana perbelanjaan cinderamata, toilet, dan masjid. Berbagai fasilitas ini menambah kenyamanan bagi para pengunjung.




POSTING TERUPDATE