SYAIKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN
Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan diyakini sebagai waliyullah dan
dihormati masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa tarekat
Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal dengan nama Haji
Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua Karang. Di
pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna
Syaikh al-Hajj Waliyullah Radhiyullahu.
Syekh Abdul
Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram.
Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut
Kerajaan Mataram Islam.
Ayahnya bernama Sembah
Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang
saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa.
lbunya bernama Raden
Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke
Syaikh Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Kefika masih anak-anak, Syekh
Abdul Muhyi telah belajar di Ampel Denta untuk mendaras berbagai
disiplin keilmuan pesantren. Pada tahun 1669 M, di usia 19 tahun, Abdul
Muhyi merantau hendak menuiu ke Mekah, tetapi singgah di Aceh.
Di Aceh Abdul Muhyi
ternyata bertemu dan belajar kepada Tengku Syiah Kuala atau Syaikh
Abdur Ra’uf as-Singkili. Berbagai disiplin keilmuan dipelajari Abdul Muhyi
di Kota Aceh ini, termasuk tarekat Syathariyah dari jalur Syaikh Abdur
Ra’uf.
Sebagai guru besar
Syathariyah, Syaikh Abdur Ra'uf ini berusaha mendamaikan wujudiyah dari lbnu
Arabi dengan tasawuf lain yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.
Setelah beberapa tahun
di Aceh, Syekh Abdul Muhyi oleh gurunya diajak berkunjung ke
makam seorang yang dikenal masyarakat sebagai Wali Quthb, (Syaikh
Abdul Qadir Jilani di lrak). Perjalanan diteruskan ke Mekah dan Madinah
untuk menunaikan haji.
Syekh Abdul
Muhyi kemudian belajar di Makkah, tidak langsung pulang.
Di Mekah Abdul Muhyi bertemu Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan diduga kuat Abdul
Muhyi belajar juga kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ibrahim Kurani, dan Hasan
al-Ajami,yaitu guru-guru dari Abdur Ra'uf as-Singkili sendiri.
Syekh Abdul
Muhyi kembali dari Mekah menuju Ampel Denta pada tahun
1678 setelah mendapatkan ijazah untuk men jadi mursyid tarekat Syathariyah dari
gurunya. Sekembalinya dari Ampel Denta, sang ayah menikahkannya dengan putri
bernama Ayu Bekta. Setelah menikah, bersama orang tuanya, Abdul Muhyi
pindah ke Jawa barat untuk menyebarkan Islam, dan berusaha mencari sebuah gua
yang ditunjukkan oleh gurunya, Syaikh Abdur Ra'uf as-Singkili.
Awalnya Syekh
Abdul Muhyi dan keluarga menetap di Desa Darma Kuningan selama 8 tahun
(1678-1685) atas permintaan masyarakat. Karena belum menemukan tujuan yang
hendak dicari, sambil melakukan dakwah, Abdul Muhyi menuju ke Garut Selatan dan
diminta masyarakat untuk tinggal di Pameungpeuk, Garut. Perjalanan diteruskan
ke Lebaksiuh di dekat Batuwarigi. Di berbagai tempat tinggal ini Abdul Muhyi
terus menyebarkan Islam secara santun dengan sentuhan hati sebagai seorang sufi.
Di Lebaksiuh inilah
Abdul Muhyi menemukan gua yang dikeramatkan dan wingit. Gua ini dinamakan
Pamijahan, karena tempat berkembang biaknya banyak ikan. Gua Pamijahan ini
berbatu karang dan penuh dengan hutan lebat, dan karenanya sering disebut juga
sebagai Gua Karang. Sejak saat itu, meski kadang-kadang masih tinggal di
Lebaksiuh, Abdul Muhyi lebih dikenal sebagai Haji Karang.
Gua ini menjadi tempat ’uzlah
dan khalwat-nya, akan tetapi di tempat tinggalnya yang terakhir, ia
membangun perkampungan baru bersama para pengikutnya di sebelah barat Kampung
Ojong, dan dikenal dengan sebutan Safar Wadi.
Di tempat ini dia
membangun masjid dan padepokan sebagai pusat penyebaran lslam dan tarekat
Syathariyah. Sebagai guru Rohani, Abdul Muhyi dihormati masyarakat dan
Keraton Mataram. Desanya diakui sebagai desa perdikan, yang artinya berhak
mengurus urusannya sendiri secara mandiri, meskipun ada di wilayah Mataram.
Meski memiliki hubungan dengan Mataram, hubungan dengan Keraton Cirebon dan
Banten juga dibangun, termasuk setuju sebagian anak-anaknya menikah dengan para
bangsawan dari Cirebon. Hubungan dekat juga terjadi dengan Kesultanan Banten,
termasuk dengan guru Rohani di Banten, yaitu Syaikh Yusuf Tajul khalwaiti
al-Maqassari, yang merupakan temannya ketika di Mekah. Ketika Syaikh Yusuf
bergerilya di hutan-hutan melawan Belanda akibat keberhasilan Belanda memecah
Keraton Banten, Syaikh Yusuf bersembunyi di tempat Syaikh Abdul Muhyi. Di
samping sebagai pendidik, mujahid dalam menyebarkan Islam, seorang yang dikenal
memiliki kemampuan linuwih, Syekh Abdul Muhyi juga seorang penulis. Dia menulis
kitab dalam disiplin tarekat Syathariyah. Tokoh ini meninggal pada 1730 M
atau 1151 H dalam usia 80 tahun. Dia dimakamkan di Pamijahan, yaitu di Bantar
Kalong, Tasikmalaya bagian selatan, Makamnya hingga saat ini menjadi makam yang
sering diziarahi oleh masyarakat NU dan masyarakat Islam pada umumnya.
Sumber: NU JABAR ONLINE